Setelah kota Mekah takluk di tangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata masih ada sejumlah kabilah Arab yang belum menyerah, seperti Bani Tsaqîf, Hawazin, dan sejumlah kabilah lainnya. Semua kabilah tadi akhirnya bersatu untuk melawan kaum Muslimin, sembari mengerahkan anak-anak, kaum wanita, dan harta benda mereka.

Begitu mendengar gerakan mereka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengutus Abdullah bin Abi Hadrad al- Aslami untuk klarifikasi berita tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad hasan, sebagaimana dinukil oleh adz-Dzahabi dalam Maghâzi-nya, hlm. 571-572). Setelah nyata kebenaran berita dan maksud mereka maka Rasûlullâh bersiap-siap untuk perang.

Tak lama berselang, ada seorang penunggang kuda menghampiri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Aku habis melewati bukit ini dan itu, dan tiba-tiba kudapati Bani Hawazin mengerahkan seluruh personel mereka termasuk anak-anak, kaum wanita, dan ternak mereka, lalu berkumpul di Hunain,” (Hunain adalah nama sebuah lembah yang berjarak 26 Km di sebelah timur Mekah. Saat ini lokasi tersebut dikenal dengan nama: الشَّرَائِع). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengar berita tersebut, dan menimpali, “Itulah ghanimah kaum Muslimin besok, insya Allâh Azza wa Jalla,” (HR Abu Dawud, no. 2503).

Dalam peperangan ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat meminjam 100 buah baju besi beserta perlengkapannya dari Shafwan bin Umayyah yang kala itu belum masuk Islam. Usai peperangan, ternyata ada sebagian baju besi yang hilang, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada Shafwan untuk membayar gantinya, namun Shafwan menolak dan akhirnya ia masuk Islam. (Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 2/610-611). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminjam 30 ekor unta dan 30 buah baju besi dari Ya’la bin Umayyah (HR Ahmad, no. 17950).

Sebelum meninggalkan Mekah, beliau mengangkat ‘Attab bin Usaid al-Umawi yang kala itu baru berumur 20 tahun sebagai pemimpin kota Mekah (HR ath-Thayâlisi dengan sanad hasan, sebagaimana dalam al-Ishâbah, 2/451). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergerak bersama pasukan yang berjumlah 12 ribu personel. Sepuluh ribu orang di antaranya adalah pasukan yang menyertai beliau dalam penaklukan kota Mekah, sedangkan dua ribu sisanya berasal dari warga Mekah yang baru masuk Islam (Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan secara mu’allaq, terputus dari awal sanadnya, sebagaimana dalam Sirah Ibnu Hisyam, 4/118).

Pada sore hari tanggal 10 Syawwal tahun 8 H, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pasukannya tiba di lembah Hunain. Selama di perjalanan, mereka sempat melihat sebatang pohon bidara besar yang terkenal dengan nama Dzatu Anwâth. Kaum musyrikin konon sengaja mencari berkah di pohon tersebut dengan menggantungkan senjata-senjata mereka pada rantingnya. Bahkan ada yang menyembelih korban dan bersemedi di sekitarnya. Ketika sebagian dari pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baru masuk Islam menyaksikan pohon bidara berikutnya, mereka berteriak-teriak, “Wahai Rasûlullâh, buatkan untuk kami Dzatu Anwâth seperti milik mereka!” Mendengar permintaan jahili seperti itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sontak bertasbih dan berseru, “Ucapan kalian –demi Allâh Azza wa Jalla – sangat mirip dengan ucapan Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkan sesembahan untuk kami seperti sesembahan mereka,’ kalian pasti akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian,” (HR Tirmidzi dan yang lainnya dengan sanad shahih. Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 1/130-132).

Melihat jumlah pasukan kaum Muslimin yang banyak saat itu, ada seseorang yang berkomentar, “Kita tidak akan kalah hari ini karena kekurangan pasukan”. (Akan tetapi riwayat ini sanadnya dha’if walaupun cukup terkenal dalam sejarah. Bahkan dalam Sirah Ibnu Hisyam ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa yang mengucapkan kata-kata tadi adalah Rasulullah sendiri. Ini jelas riwayat batil yang kontradiksi dengan apa yang kita kenal dari pribadi Rasulullah yang demikian kuat tawakkalnya kepada Allah. Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain 1/113-114 dan 136-137.)

Memang, 12 ribu personel merupakan jumlah yang spektakuler dan belum pernah ada dalam perang-perang sebelumnya. Fenomena ini bahkan diabadikan oleh al-Qur`an dalam ayat berikut :

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

Allâh telah menolong kalian dalam banyak kesempatan. Dan ingatlah ketika perang Hunain, saat kalian merasa takjub dengan banyaknya jumlah kalian. Akan tetapi itu tidak berguna sedikitpun bagi kalian, sehingga bumi terasa sempit bagi kalian dan kalian lari tunggang-langgang. [at-Taubah/9:25].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar dengan kenyataan tersebut, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla selepas shalat Shubuh dengan bibir berdoa:

اللَّهُمَّ بِكَ أُحَاوِلُ، وَبِكَ أُصَاوِلُ، وَبِكَ أُقَاتِلُ

Ya Allâh Azza wa Jalla , dengan (kekuatan)-Mu aku berjuang, dengan (kekuasaan)-Mu aku melawan, dan dengan (pertolongan)-Mu aku berperang.

Sahabat Suhaib ar-Rûmi Radhiyallahu anhu yang menyaksikan “fenomena langka” tersebut berkata, “Wahai Rasûlullâh, baru saja kami melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah kau lakukan sebelumnya. Apakah gerangan yang kau baca?”

Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Sesungguhnya ada seorang nabi dari umat sebelum kalian yang merasa kagum dengan banyaknya jumlah umatnya. Nabi tadi sempat berkata, ‘Tidak ada seorang pun yang dapat melawan mereka,’ maka Allâh mewahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya kebaikan umatmu terletak pada salah satu dari tiga hal, yaitu (1) ketika Kami menguasakan mereka kepada musuh dari selain mereka, lalu musuh tersebut membantai mereka, (2) atau Kami jadikan mereka kelaparan, (3) atau Kami utus kematian kepada mereka.’ Setelah mendapat wahyu tersebut, sang nabi bermusyawarah dengan kaumnya, lalu kata mereka, ‘Kalau menghadapi musuh, maka kita tidak punya kekuatan. Sedangkan menghadapi kelaparan kita pun tak cukup sabar. Jadi, biarlah kita mati saja.’ Akhirnya Allâh mengirim kematian yang menewaskan 70 ribu orang dari mereka dalam tiga hari. Itulah sebabnya mengapa aku mengucapkan doa tersebut hari ini,” lanjut Rasûlullâh. (Hadits shahih riwayat ad-Darimi, dan lain-lain, dalam Sunan-nya. Lihat Marwiyat Ghazwati Hunain, 1/137-139)

Diriwayatkan, pasukan musuh yang dipimpin oleh Malik bin ‘Auf jumlahnya dua kali lipat atau lebih dari jumlah pasukan Islam. Ia juga melakukan serangkaian persiapan baik mental maupun material guna menaikkan semangat tempur pasukannya. Salah satunya ialah dengan berpidato dan mengatakan: “Muhammad belum pernah menghadapi pertempuran yang sesungguhnya sebelum kali ini. Selama ini ia hanya menghadapi orang-orang yang tak berpengalaman sehingga menang melawan mereka”.

Trik kedua, ia mengerahkan kaum wanita dan anak-anak plus harta yang dimiliki kaumnya, lalu menempatkan itu semua di bagian belakang pasukan. Tujuannya, agar mereka mendorong para lelaki untuk berperang mati-matian melawan musuhnya.

Trik ketiga, ia memerintahkan agar semua pedang dihunus dan sarungnya dipatahkan. Ini merupakan kebiasaan orang Arab sebelum perang, yang menandakan bahwa mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan dalam melawan musuh, sampai mereka menang atau mati.

Trik keempat, ia melakukan perang urat syaraf terhadap kaum Muslimin untuk menjatuhkan nyali mereka. Yaitu dengan menempatkan puluhan ribu ekor unta di bagian belakang pasukan, lalu memerintahkan kaum wanita untuk menaikinya sehingga dari kejauhan menunjukkan fenomena lautan manusia yang siap bertempur (Lihat as-Siirah an-Nabawiyyah, oleh Dr. Ali Shallabi, hlm. 490-491).

Trik kelima, ia mempelajari seluk-beluk medan perang dengan sangat baik, dan lebih dahulu mencapai lokasi sebelum kedatangan kaum muslimin. Lalu menyebar pasukan di berbagai sudut, celah, dan jalan masuk ke lokasi, memerintahkan mereka untuk menghujani kaum Muslimin dengan panah begitu mereka tiba di lokasi. Ia juga memerintahkan agar serangan dilakukan secara serempak. (Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad hasan. Lihat Sirah Ibnu Hisyam, 4/121).

Menjelang terbit fajar, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memompa semangat perang kaum Muslimin dan membagi-bagikan panji-panji serta komando. Kaum Muslimin pun mulai bergerak menuruni lembah, tapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh hujan panah kaum musyrikin dari kanan-kiri lembah. Mereka kaget dengan serangan serempak pihak musuh, hingga pasukan kaum Muslimin lari tercerai-berai meninggalkan lembah. Namun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyisihkan dirinya bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar ke arah kanan sambil berseru, “Wahai pasukan, kemarilah. Aku Rasûlullâh ! Aku Muhammad bin Abdillah!”

Menurut riwayat yang paling shahih, saat itu yang bersama Nabi n sekitar 80 orang. Di antara yang tetap bersama beliau adalah: Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdil-Muththalib dan al- Fadhl puteranya, Abu Sufyan ibnul-Harits dan Ja’far puteranya, Rabi’ah ibnul-Harits, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin ‘Ubaid (Lihat Marwiyyat Ghazwati Hunain, 1/175-180).

Ketika itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan keberaniannya dengan segera memacu bighal-nya ke depan seraya berseru, “Aku Adalah Nabi yang tidak berdusta, akulah putera Abdul-Muththalib!” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ‘Abbas bin Abdil-Muththalib yang bersuara lantang agar memanggil para sahabat yang berbaiat di bawah pohon (ahli Hudaibiyah). ‘Abbas pun berseru sekuat tenaga: (أين أصحاب السمرة !؟) “Dimanakah mereka yang berbaiat di bawah pohon Samurah?”

Mendengar seruan itu, mereka seakan tergerak seperti induk sapi yang mendengar teriakan anaknya. Mereka sontak menjawab: “Yaa Labbaika… yaa labbaika!”

“Lawanlah orang-orang kafir itu!” seru ‘Abbas.

Demikian pula dengan kaum Anshar yang juga dipanggil agar kembali: “Yaa aa’syaral-Anshaar!”, wahai sekalian kaum Anshar.

Lalu ‘Abbas mengkhususkan panggilan tersebut kepada Bani Harits ibnul-Khazraj dari suku Anshar. Sedangkan Rasûlullâh tetap duduk tegap di atas bighal-nya. Sambil menyaksikan mereka berperang, beliau berkata (هذا حِين حَمِيَ الوَطِيسُ !), “Inilah saatnya peperangan memanas!” (HR Muslim, no. 1400).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memungut beberapa butir kerikil, lalu melemparkannya ke arah orang-orang kafir sembari berkata, “Kalahlah kalian, demi Rabb-nya Muhammad”.

Tak lama setelah beliau melemparkan kerikil-kerikil tadi, nampaklah satu persatu dari pasukan musuh mulai kecapaian dan kalah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 3801). (Sumber: Perang Hunain)

Share.

Comments are closed.

Exit mobile version