Anto bingung. Ia takut pulang ke rumah. Bila ketahuan, ayahnya akan sangat marah. Anto akan dihukum lagi. Menyapu halaman, mengepel lantai, mencuci sepeda motor, atau menguras bak mandi. Mungkin hukumannya lebih berat daripada biasanya. Kali ini kesalahannya sangat besar.
Pak Rudi adalah ayah Anto. Beliau polisi yang sangat disiplin. Bila Anto bersalah pasti akan dihukum. Memang, ayahnya tidak pernah memukul atau menyakiti. Namun, kata-kata marah ayahnya tidak enak didengarkan.
Anto berani mengambil uang ayahnya 500 ribu di almari. Sekarang uang itu sudah habis. Uang itu untuk membantu ibu Daili. Teman sebangkunya itu anak yatim. Anto kasihan pada Daili. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit.
“Hai Anto, sudah pulang? Mengapa langsung ke sini?” tanya bibinya.
“Iya, Bulik.” jawab Anto, “Saya boleh liburan di sini?”
“Boleh saja. Mengapa?” tanya bibinya keheranan.
“Saya bosan di rumah. Saya ingin bermain-main dengan sepupu Andi.”
“Sudah ijin ayah dan ibumu?”
“Belum, nanti saya akan menelepon ibu”.
Akhirnya Anto diijinkan tinggal di rumah bibinya. Ini kesempatan sangat baik. Ia ingin mengembalikan uang itu. Ia akan berusaha keras.
Keesokan paginya Anto minta ijin ke rumah Daili. Ia mengatakan ibu Daili sedang sakit. Bibinya mengijinkan. Anto langsung bersepeda ke perempatan Margorejo. Di sana Daili sedang menjajakan koran pagi.
“Sudah laku berapa?” tanya Anto sambil mendekat.
“Baru sepuluh” jawab Daili,”Ambil sisa tumpukan koran itu.”
Kemudian Anto membantu Daili menjual koran. Anto menjualnya di pompa bensin. Jaraknya hanya sepuluh meter. Banyak kendaraan antri membeli bahan bakar. Anto mencoba menawarkan koran. Ternyata beberapa pengemudi mobil membeli.
Luar biasa! Ini pengalaman pertamanya bekerja mencari uang. Ternyata tidak mudah mencari uang. Kadang-kadang ia harus berjalan di depan kendaraan. Hal ini cukup berbahaya. Ia harus hati-hati agar tidak tertabrak.
Beberapa pengamen dan pengemis ikut meramaikan perempatan jalan itu. Pakaian mereka lusuh dan kotor. Tingkah laku mereka kasar. Untung mereka tidak jahat. Karena itu Anto harus selalu baik pada mereka.
Matahari semakin tinggi. Panasnya terasa menyengat. Keringat Anto bercucuran. Mukanya merah dan tampak kehausan. Mereka membeli minuman di warung. Kemudian berpindah tempat. Sasaran berikutnya adalah ruko-ruko dan kantor-kantor di sekitarnya. Kedatangan Anto sangat meringankan Daili. Korannya cepat habis terjual.
Mereka kemudian pulang ke rumah Daili. Ibunya masih tergolek di kamar tidur. Ibunya belum sembuh benar. Kemarin ibunya baru pulang dari rumah sakit. Setelah makan siang mereka tidur di kursi ruang depan.
Sore harinya mereka kembali ke perempatan jalan. Mereka menjual koran sore. Menjelang Magrib Anto kembali ke rumah pamannya. Setelah menyapa paman dan bibinya, Anto makan malam. Akhirnya ia tertidur di kursi sofa karena kelelahan.
Hari berikutnya mereka melakukan hal yang sama. Alasan pergi Anto selalu tepat. Anto ingin menjenguk ibu Daili. Paman dan bibinya pun setuju saja karena sibuk. Paman dan bibi bekerja di pabrik. Pulangnya selalu sore hari.
Pada hari Sabtu Anto pulang menjelang Isya. Ia terkejut. Ia tidak jadi masuk halaman rumah pamannya. Sepeda motor ayahnya diparkir di halaman. Dari jauh terdengar suara pertengkaran. Suara ayahnya keras sekali. Mungkin ayahnya sedang marah-marah pada paman dan bibinya.
Anto gemetar mendengar pertengkaran itu. Apalagi mereka menyinggung soal uang hilang. Anto takut sekali. Pamannya pasti akan menyalahkannya juga. Karena itu Anto memutuskan tidak jadi kembali ke rumah pamannya. Ia pun tidak akan menginap di rumah Daili. Ia takut keluarga Daili kena marah juga. Ia coba ke tempat lain saja.
Malam semakin larut. Suasana jalan kampung mulai sepi. Anto terus berjalan. Ia bingung. Ia tidak tahu akan kemana. Pokoknya ke suatu tempat yang bisa membantunya.
Ayah, ibu, paman, dan bibinya sangat bingung. Mereka mendatangi rumah Daili sambil marah-marah. Beberapa polisi anak buah ayahnya dikerahkan. Mereka mencari di segala penjuru jalan hingga menjelang pagi. Ternyata Anto masih belum ditemukan.
Ibunya sangat khawatir. Ibunya berkali-kali menangis. Akhir-akhir ini sering terjadi kejahatan pada anak-anak jalanan. Jangan-jangan Anto ditangkap preman. Bisa juga Anto diculik penjahat.
Pagi itu sekitar pukul 9 rumah Anto kedatangan tamu. Seorang laki-laki datang bersepeda motor. Segera tamu itu masuk ke halaman rumah.
“Selamat Pagi, Pak Rudi,” tamu itu menyampaikan salam.
“Selamat Pagi. Ooo … Pak Anas. Silahkan masuk, Pak,” jawab ayah Anto kepada Pak Anas. Pak Anas adalah guru kelas V, guru kelas Anto.
“Apakah Anto kabur dari rumah?” Pak Anas mulai bertanya.
“Ya benar, Pak. Sejak kemarin malam,” Pak Rudi menjawab.
“Tolong Bapak jangan marah pada Anto. Dia masih di rumah saya. Dia anak baik. Dia ingin menolong Daili teman sebangkunya. Ibu Daili opname di rumah sakit. Anto mengambil uang bapak untuk menebus biaya obat ibu Daili. Kemudian Anto dan Daili bekerja menjual koran. Mereka ingin mengembalikan uang tersebut. Ini uangnya dikembalikan,” Pak Anas menjelaskan panjang lebar mengapa Anto kabur.
Tidak terasa airmata ayah dan ibu Anto menetes. Mereka terharu atas kebaikan dan perjuangan anaknya. Tidak disangka ternyata anaknya suka menolong. Segera mereka ke rumah Pak Anas untuk menjemput Anto.
Hari libur sudah usai. Hari Senin para siswa kembali masuk sekolah. Pak Anas masuk kelas V pagi-pagi sekali. Pak Anas mengawali dengan kisah “Sang Pangeran Kabur”. Anehnya sekali cerita itu. Kejadiannya persis pernah dialaminya dengan Daili.
“Anak-anak Sang Pangeran Kabur ternyata ada di sini. Marilah kita sambut dia, Antoooo …,”Pak Anas dengan penuh semangat menyebut namanya. Kemudian Pak Anas menggandeng Anto ke depan kelas.
Teman-temannya bertepuk tangan sambil mengelu-elukan julukan itu. Anto memang malu dengan julukan itu. Namun, ia sangat bangga. Ia bisa menolong orang lain.