Oleh: Jayyidan Falakhi Mawaza*
Apa itu iman? kata iman mungkin telah melekat dari diri kita sedari masih bocah. Ingatkah kita sewaktu duduk di Taman Kanak-kanak dulu? Ibu dan bapak guru mengajari kita rukun iman. Ingatkah kita dengan pertanyaan ibu dan bapak guru tentang rukun iman? Anak-anak ada berapa rukun iman itu? Coba sebutkan anak-anak? Iman bagi anak TK mungkin hanya sebatas doktrin yang harus di hafalkan dan diketahui tanpa ada dimensi keyakinan dan ekspresi disitu. Beda halnya dengan kita yang sudah dewasa, iman tidak hanya sebatas dihafalkan, diketahui,diyakini tapi juga diekspresikan.Secara umum Iman merupakan system kepercayaan yang berbentuk agama (religious belief system).
Bagi orang yang beragama, iman dinilai sangat sakral karena menyangkut mata rantai kewahyuan dari tuhan. Dalam konteks ekspresi iman, menurut saya ada empat tipe dan tingkatan ekspresi orang beriman.
Pertama, ranah individual dan privat. Dalam tingkatan ini, iman hanya diekspresikan cukup hanya dalam diri orang itu sendiri. Ia tidak berupaya untuk mengajak atau mempengaruhi orang lain untuk meyakini keimanan yang diyakininya. Ia hanya sebatas meresapi imanya dan menjalankan ritual untuk kepentingan dirinya sendiri. Baginya, iman adalah sesuatu yang personal tanpa perlu untuk didiskusikan kepada orang lain bahkan dengan keluarganya sendiri. Praktek ekspresi iman seperti ini dapat kita temui di negara-negara barat yang cenderung individualistis. Seakan-akan hal itu telah menjadi konsesus sosial bersama bahwa keimanan adalah bersifat pribadi saja, tanpa harus disebarkan dan diumukan kepada khalayak ramai.
Kedua, ranah komunal. Dalam tingkatan ini, iman hanya diekspresikan ditingkat keluarga, kerabat dekat, teman-teman dekat, dan lingkungan tetangga.Sholat berjamaah ke masjid, yasinan di rumah tetangga, berdiskusi seputar dakwah agama di lingkungan kampus agama, membahas seputar konsep pemimpin yang dinilai amanah dan yang harus dipilih ditingkat keluarga merupakan contoh dari ekspresi iman di tingkatan ini.
Ketiga, ranah publik. Dalam tingkatan ini, iman diekspresikan secara terbuka. Dalam konteks indonesia menurut saya ekspresi iman diranah publik harus didasari atas kebaikan universal dan kebijaksanaan universal (universal wisdom). Karena mengingat kita hidup dengan berbagai orang yang memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Untuk menjaga agar tidak terjadinya konflik dan resistensi diantara berbagai pemeluk agama, maka ekspresi iman harus dikomunikasikan dan dikompromikan dengan pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda. Sebagai contoh misalnya, membangunkan sahur dengan sangat keras dan kencang yang tadinya dikemukakan secara bebas ditingkat komunal maka harus dibatasi di ranah publik untuk menghargai dan tenggang rasa terhadap pemeluk agama dan keyakinan yang lainya. Melakukan pengkritikan agama tertentu di ranah ini dapat menyebabkan terjadinya konflik dan resistensi antar pemeluk agama dan keyakinan. Yang dapat berujung kekerasan psikis dan fisik yang tidak kita inginkan. Maka kunci ekspresi iman di tingkatan ini dalam konteks indonesia adalah kebijaksanaan, kedewasaan dan saling tepa slira antar umat beragama.
Keempat, dalam ranah negara. Iman dalam tingkatan ini diekspresikan dengan melalui serangkaian bentuk kebijakan-kebijakan seperti penyediaan dan penambahan kuota haji, peraturan perbankan syariah dan anti korupsi. Selain itu ada juga yang berupaya mengekspresikan iman di level ini dengan menciptakan negara yang berkonstitusi agama tertentu. Perubahan drastis yang ingin mengubah konstitusi sebuah negara yang sudah ada dengan konstitusi yang kental dengan hukum agama tertentu dapat berpotensi menyebabkan konflik yang dahsyat.
Berkembangnya teknologi dan semakin masifnya penggunaan media sosial (medsos) di era sekarang menjadi tantangan baru bagi ekspresi keimanan. Dahulu, sebelum era media social seperti facebook, twitter, instagram, whatsapp dan kecanggihan teknologi yang menjadi-menjadi, batasan antara ranah publik dan komunal sangat kentara. Sekarang, media sosial dan dunia maya menjadikan batasan keduanya tak jelas. Banyak sekali hal-hal yang sebenarnya ditujukan untuk tingkat komunal justru bocor sampai ke ranah public disebabkan karena media social. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak pemuka agama yang mempropagandakan dan mendakwahkan sentimen agama kepada para pengikutnya dan menjelek-jelekkan kepercayaan dan agama lain yang diunggah oleh orang lain ke media social yang menimbulkan kecaman, polemik dan reaksi negatif dari pengguna media sosial (nitizen).
Ditengah rancunya ekspresi iman di ranah komunal dan publik di era media sosial maka para pengguna media sosial harus arif dan bijaksana dalam menggunakan media sosial. Terlebih dalam konteks ekspresi iman maka ‘kesalehan virtual’ menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Di era media social semua orang berhak untuk menulis status, membagikan status orang lain, mengunggah foto, menggunggah video tanpa ada pengawasan dan batasan yang kongkret. Ruang dunia maya yang tak jelas wujudnya menjadi polusi dan sampah informasi yang kalau tidak hati-hati dapat menyebabkan konflik di ranah dunia nyata.
Melalui pengamatan sekilas tentang ekspresi keimanan seseorang maka nampak muncul keinginan untuk mendekati Sang Pencipta atau Super Power, “God”, atau “Yahwe dengan diwarnai dengan premis-premis kebenaran yang berbeda dan guratan-guratan realita tertentu yang ingin menghadirkan solusi atas berbagai macam permasalan yang dihadapi manusia. Di era media sosial yang tak jelas batasan komunikasinya maka premis-premis kebenaran yang diyakini dapat didukung oleh konsistensi perilaku para penganutnya untuk saling menghormati, menghargai dengan premis-premis kebenaran yang lainya.
Akhirnya, tak cukup hanya melakukan kesalehan sosial dan vertikal tapi juga harus melakukan kesalehan virrtual apabila ingin mewujudkan masyarakat madani, masyarakat yang aman, adil dan sejahtera.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN dan Pegiat di Social Movement Institute (SMI)