Puasa merupakan salah satu ibadah yang mengharuskan sseseorang untuk mampu menahan diri dari perihal yang membatalkan puasa. Adapun yang dapat membatalkan puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, haid atau nifas, bersetubuh, keluarnya mani dengan sengaja, dan murtad.
Ulama sepakat jika makan dan minum dengan sengaja adalah satu dari sekian banyak hal yang dapat membatalkan puasa. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah memasukkan sesuatu ke dalam mulut, baik yang memberikan manfaat ataupun yang berbahaya. Namun jika melakukannya dengan tanpa sadar atau lupa, maka tidak membatalkan puasa. Dalam konteks ini Nabi bersabda:
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”(HR Bukhori-Muslim)
Begitupun dengan muntah yang sengaja, hal tersebut dapat membatalkan puasa. Berbeda dengan muntahnya orang sakit atau tidak disengaja, yang begitu tidaklah mengapa. Karena yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam keadaan dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang terakhir ini terjadi, maka puasanya batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha”
Keluarnya darah dari rahim perempuan, baik haidl ataupun nifas juga dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu, bagi perempuan yang mendapatinya (pagi atau siang hari) bersegeralah untuk membatalkan puasanya dan menqadlanya di lain waktu. Dari Abu Sa’id al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”
Bersetubuh atau melakukan subungan seksual dengan sadar dan sengaja merupakan penyebab batalnya puasa. Adapaun batasan seseorang dapat diakatakan melakukan hubungan seksual adalah batas minimal masuknya khasafah (batang kelamin pria) ke dalam farji (vagina), dan apabila kurang dari itu maka tidak dikatagorikan hubungan seksual dan tidak membatalkan puasa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, celaka aku.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apa yang terjadi padamu’. Pria tadi lantas menjawab, ‘Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?’ Pria tadi menjawab, ‘Tidak’. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Pria tadi menjawab, ‘Tidak’. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?’ Pria tadi juga menjawab, ‘Tidak’. Abu Hurairah berkata, ’Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, ‘Di mana orang yang bertanya tadi?’ Pria tersebut lantas menjawab, ‘Ya, aku.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ambillah dan bersedakahlah dengannya’. Kemudian pria tadi mengatakan, ‘Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Berilah makanan tersebut pada keluargamu’”. (HR Bukhari Muslim).
Begitu pula hukumnya seseorang yang bercumbu hingga mengeluarkan mani. Yang dimaksud adalah mubasyarah, yaitu dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Muhammad al Husni rahimahulah memaparkan dalam Kifayatul Akhyar jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Dan yang terkahir adalah murtad. Jumhur Ulama sepakat jika keluarnya seseorang dari Islam membatalkan puasa bahkan menghapus seluruh amalan dan mengahalangi diterimanya setiap amal. Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 54:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِالله وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Demikian tulisan singkat kami tentang hal-hal yang membatalkan puasa. Seyogyanya ktia menghindarinya demi kesempurnaan ibadah kita di Bulan Suci nan berkah ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Sumber: Tebuireng Online)