Ada banyak istilah yang hampir sama muncul dalam lembaran sejarah Islam yang berkaitan dengan kata hijab. Menurut Nasaruddin Umar dalam tulisanya berjudul Antropologi Jilbab di Jurnal Ulumul Quran (1996) disebutkan bahwa dalam vocabulary Arab pada masa Rasulullah, pakaian wanita dikenal dengan beberapa istilah seperti khimar pakaian yang khusus menutupi bagian kepala, dir pakaian yang khusus menutupi bagian badan, jilbab yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala dan masih banyak istilah yang lainya.
Di dalam Islam, pemakaian hijab bagi perempuan mempunyai legitimasi dan pendasaran yang mumpuni karena menjadi doktrin dalam Al-Quran. Seperti yang tertuang di dalam surat An-Nur ayat 36, Al-Ahzab ayat 59 dan Al-A’raf ayat 26. Sehingga hal itu berakibat kepada keharusan bagi perempuan muslimah untuk mengenakanya.
Saat ini di Indonesia hijab yang identik dengan simbol keislaman mengalami pergeseran makna dari masalah teologi menuju masalah eksistensi. Pergeseran makna itu dapat dilihat dengan menjamurnya fenomena hijabers khususnya di daerah perkotaan. Pemakaian hijab yang selama ini terkesan kaku dan monoton berubah di tangan para hijabers ini dengan kian lebih lentur dengan berbagai macam model yang mengikuti trend dan selera.
Model-model hijab kini memiliki berbagai macam varian dengan menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para hijabers mulai dari hijab kasual, kampus, kerja hingga pesta. Mulai dari hijab model pashamina hingga model segi empat. Beragamnya model hijab semakin menstimulasi para hijabers untuk mengonsumsinya.
Tak jarang para hijabers ini juga membentuk sebuah komunitas ekslusif untuk menghimpun dan menyalurkan hobi dan kesukaanya. Anggota yang bergabung dalam komunitas ini berasal dari muslimah kelas menengah atas dengan berbagai latar belakang mulai dari mahasiswi, pegawai kantoran hingga artis. Mereka mengadakan berbagai macam kegiatan diantaranya fashion show, creative fashion week, fotografi hingga santunan.
Kegiatan-kegiatan itu dilakukan seakan-akan sebagai penanda bagi elitisme komunitas tersebut. Mereka disatukan oleh identitas, nilai dan selera yang sama melalui penggunaan hijab stylis yang tidak semua orang bisa mengaksesnya karena standarisasi gaya dan cita rasa yang berbeda. Eksistensi mereka didukung oleh perkembangan selera dan tren fashion yang berkaitan langsung dengan praktek konsumsi.
Hijab sebagai simbol keislaman kini hadir dan memateri dalam bentuk benda yang dapat diperjualbelikan. Dogma hijab dimaterealisasi ke dalam bentuk gaya hijab yang modis yang dikonsumsi berdasarkan kandungan nilai yang berbeda dengan komoditas yang lainya karena bernilai sakral dan memiliki legitimasi moral.
Perintah berhijab bagi perempuan muslim berpotensi besar bagi terbentuknya pasar hijab yang lebih luas. Singkatnya hijab dikomoditikan dengan beragam cara dan bentuk mulai dari desain yang dikembangkan, warna yang beragam dan merek-merek hijab yang mempunyai segmentasi khusus dengan harga melangit yang hanya dapat dijangkau oleh kelas menengah atas.
Agama dan pasar saling memberikan bobot nilai satu sama lain dan beroperasi dalam mempromosikan bentuk-bentuk standarisasi kelas sosial keagamaan di ruang publik perkotaan. Hal itu mendorong bagi sebagian desainer muslimah untuk memanfaatkan, mengontrol dan memainkan peran strategis untuk memperoleh material ekonomi dengan mengikat perempuan muslim untuk mengenakan hijab yang stylist dengan balutan emosi keagamaan.
Segilintir nama muncul dan sukses dalam memanfaatkan ceruk pasar hijab yang terbuka lebar di Indonesia. Nama-nama seperti Dian Pelangi, Jenahara, dan Ria Miranda merupakan desainer busana muslimah yang mempunyai merek-merek hijab terkenal. Mereka mengeksplorasi gaya kreatif dan menarik seperti sentuhan pastel, garis-garis hingga girly yang berkarakter feminin yang sangat disukai oleh para hijabers.
Abdul Aziz Faiz dalam bukunya Muslimah Perkotaan (2016) menjelaskan bahwa kontruksi narasi yang dilakukan oleh para hijabers tidak berangkat dari ruang kosong dengan hanya menonjolkan semata penampilan yang baru akan tetapi mereka juga pada dasarnya memiliki akses dan intensitas pertemuan dengan globalisasi, modernisasi dan habitat perkotaan yang membentuk pasar simbol keagamaan.
Para hijabers ini memanfaatkan media sosial dan internet sebagai wadah komunikasi dan sosialisasi kepada sesama anggota komunitas maupun masyarakat luas. Hal itu dimanfaatkan pula oleh para desainer yang mempunyai merek hijab untuk mempromosikan karyanya dengan memproduksi video-video tutorial dan foto-foto narsistik perempuan berhijab stylist.
Di tambah dengan beberapa program khusus hijab yang menampilkan tutorial hijab dengan berbagai varian style terbaru diperagakan oleh model cantik yang tayang di televisi semakin mempermudah kontruksi dan sosialisasi terhadap merek-merek yang ada. Salah satunya adalah program “Dua Hijab” yang tayang di Trans 7.
Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh masyarakat di negeri ini seringkali dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepetinganya masing-masing. Hijab sebagai perintah tuhan dan mempunyai makna simbolik yang sakral, justru kini dimanfaatkan menjadi “komoditas” bagi para desainer cum kapitalis untuk mereguk keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka menyasar konsumen kelas menegah muslimah yang membutuhkan identitas keislaman dibalut dengan prestise dan kemewahan.
Nilai-nilai subtantif Islam berupa kesederhanaan dan egaliterianisme perlahan mulai mengikis dengan terdiferensiasinya kelas bawah dan kelas di atasnya yang sengaja diciptakan oleh para kapitalis tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan hijab yang kini sangat bias kelas. Kalau sudah begini kita sebagai muslim hanya bisa prihatin dan mengucapkan Astaghfirullah Islam Jangan di Jual!!! Semoga kita bukan termasuk golongan orang-orang yang menjual Islam.
Amiin.
Jayyidan Falakhi Mawaza, Penulis adalah (Alumni Al-Anwar) Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Yogyakarta.