oleh : Bagus Kurniawan (Dosen Prodi Sastra Indonesia, FIB, UNS Surakarta, Aktif di Lingkar Studi Serikat Pekerja Sastra Indonesia)
Panggung politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir diwarnai dengan dua hal, politik identitas dan kapitalisasi agama. Dua hal tersebut mengakibatkan adanya gejala segmentasi di tingkat massa yang paling bawah. Sebagai contoh yang paling nyata ialah pascapilkada DKI 2017 ada upaya nyata yang dilakukan oleh sejumlah elite politik yang memainkan agama untuk kepentingan politik praktis. Akibatnya ialah dalil-dalil agama banyak digunakan untuk dimainkan dalam panggung politik. Agama dalam konteks itu mengalami degradasi karena terkesan sebagai nilai yang pragmatis.
Harus diakui bahwa kemunculan agama sebagai salah satu isu yang kerap kali digunakan untuk menyerang tokoh politik tertentu cukup mengkhawatirkan. Terlebih, masyarakat Indonesia yang sangat majemuk memiliki tingkat kerentanan sosial yang cukup tinggi jika isu-isu keagamaan dan etnisitas banyak dimanfaatkan secara negatif. Hal itu terbukti ketika dalam momen-momen politik tertentu selalu ada kekhawatiran isu agama akan dikapitalisasi dan kekhawatiran terjadi segmentasi di tingkat masyarakat.
Yang paling mutakhir, pemilihan capres dan cawapres untuk Pilpres 2019 selalu diwarnai dengan isu-isu agama yang coba dikapitalisasi. Di pihak oposisi misalnya, capres dan cawapres yang akan dilakukan harus dimulai dulu dengan proses ijtima ulama. Terlepas dari ijtima ulama yang dilakukan kemudian menghasilkan keputusan yang direalisasikan atau tidak, tetapi kemudian fakta menyatakan bahwa ada keinginan untuk membangun opini bahwa pasangan Prabowo-Sandiaga pun tidak menafikan proses ijtima ulama. Adanya pendapat yang mengatakan bahwa Sandiaga Uno adalah bagian dari generasi yang disebut dengan santri post-Islam dirasa sebagai pernyataan yang perlu dipertanyakan. Pertama, konsep santri post-islam merupakan istilah yang tidak pernah jelas konsepnya. Karena istilah santri sebenarnya selalu merujuk pada seorang individu yang terinternalisasi dengan konsep sistem pendidikan yang khas Indonesia, yaitu pesantren. Sebagaimana kita ketahui Sandiaga Uno tidak pernah sekalipun menjadi santri di pesantren mana pun di bumi Nusantara ini.
Identitas santri dan ulama bukanlah identitas yang serta-merta dapat disematkan kepada tokoh tertentu dan kepentingan tertentu. Identitas santri-ulama terikat oleh sistem kultural dan sistem nilai yang berlaku bagi pihak-pihak di lingkungan pesantren. Ada unsur kontinuitas sejarah yang harus bisa dipertanggungjawabkan jika ingin menggunakan identitas santri-ulama. Ibnu Hajar dalam Kiai di Tengah Pusaran Politik: Antara Petaka dan Kuasa (2009) mengatakan bahwa untuk disebut sebagai kyai-ulama harus pernah menjadi sebagai bagian integral dari tradisi pesantren. Dengan konsep yang serupa itu, maka patut dimaknai bahwa penyebutan tokoh tertentu sebagai santri post-islam perlu dikritisi sejauh mana istilah itu dapat dipertanggungjawabkan atau hanyalah strategi politik untuk menggiring opini massa.
Di lain pihak, isu-isu agama yang sering muncul dalam beberapa tahun terakhir pada akhitnya menentukan pola-pola pertarungan politik yang akan datang. Dari pihak calon petahana pun, memaksa untuk menentukan cawapres dari kalangan ulama. Pemilihan itu mengindikasikan dua hal, pertama keinginan untuk meredam celah isu sentimen anti-Islam yang selama ini dihembuskan oleh kubu oposisi. Kedua, pemilihan ulama sebagai cawapres merupakan sebuah upaya untuk memperkuat basis pemilih religious yang selama ini dianggap sebagai titik lemah petahana. Dengan kebijakan yang serupa itu, maka dapat dikatakan bahwa baik kubu petahana maupun kubu oposisi memanfaatkan agama sebagai sebuah modal politik. Memang, adanya pandangan yang menyatakan dengan mengemukanya Islam di panggung politik akan menghadirkan kesejukan politik yang lebih menguntungkan dibandingkan pengalaman politik Pilpres 2014 mungkuin ada benarnya. Akan tetapi, keterlibatan tokoh agama dan isu agama dalam panggung politik praktis dalam aspek tertentu juga mengkhawatirkan jika tidak dijalankan dengan jujur dan cerdas. Agama yang masuk ke ranah politik praktis dapat mengakibatkan masyarakat skeptis terhadap nilai-nilai sakral agama. Terlebih lagi, ulama-santri sebenarnya adalah milik seluruh masyarakat Indonesia, sehingga jika harus berhadap-hadapan dalam kedua kubu yang berbeda dapat menghasilkan turunan persoalan yang lain, yaitu perpecahan umat.
Perubahan Orientasi
Tanpa masuk ke dalam dunia politik praktis sekalipun, sebenarnya ulama-santri memiliki fungsi politik di masyarakat. Fungsi politik yang dimaksud ialah politik moral. Sedangkan ketika masuk ke dalam dunia politik praktis, maka mau tidak mau ulama-santri akan berorientasi pada kekuasaan. Dikotomi politik moral dan politik praktis menurut Arbi Sanit dalam buku Reformasi Politik (1998) pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu menentukan atau mempengaruhi posisi kekuasaan negara dan substansi kebijaksanaan publik. Akan tetapi yang membedakan keduanya ialah bahwa politik moral bertujuan menegakkan kebenaran posisi kekuasaan dan kebijaksanaan publik, sedangkan politik praktis bermaksud memenangkan posisi kekuasaan negara dan substansi kebijaksanaan negara bagi diri atau kelompok pelaku politik itu sendiri. Dalam konteks serupa itu, politik praktis memiliki tujuan yang tidak dapat disangkal lagi, yaitu meraih kekuasaan.
Dengan tekad meraih kekuasaan, kiai-santri secara filosofis telah kehilangan sifat egaliternya karena harus patuh dan tunduk pada sistem lingkungan kekuasaan. Dalam lingkaran kekuasaan, yang pasti ada ialah elitisme dan kemapanan sosial. Hal ini kontradiktif dengan fungsi filosofis seorang kiai yang seharusnya membumi dan merakyat karena prinsipnya sebagai pemimpin umat. Pemimpin yang tidak terikat pada sistem kekuasaan dan memiliki kemerdekaan yang hakiki sehingga tidak terjebak dalam sekat-sekat kelas sosial yang membatasinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan dengan masuknya kiai-santri ke dalam lingkaran kekuasaan maka secara substansial peran kepemimpinan kultural yang menjadi ciri khas menjadi runtuh. Fungsi konsolidasi, religious, dan kultural telah berubah menjadi pemimpin formal yang mungkin saja akan bertindak secara pragmatis. Yang paling memprihatinkan barangkali dengan masuknya kiai-santri dalam politik praktis memunculkan fenomena baru dalam masyarakat yang disebut dengan politisasi pesantren. Pada akhirnya pula akan memunculkan sebuah stigma negatif di masyarakat sehingga otoritas pesantren sebagai institusi tradisional yang bebas pragmatisme dan sumber gerakan pendidikan, keagamaan, serta pemberdayaaan masyarakat menjadi terdegradasi.
Atas dasar uraian di atas, maka didapat sebuah kesimpulan bahwa masuknya kiai-santri dalam gelanggang politik praktis, di satu sisi akan menimbulkan harapan bahwa politik akan semakin santun dan isu-isu SARA dapat diredam, dan bangsa Indonesia akan semakin sejahtera di tangan kepemimpinan para ulama. Namun, di satu sisi juga dapat memunculkan kerugian karena kiai-santri, dan pesantren tidak lagi dianggap sebagai institusi tradisional yang sakral dan suci karena penuh dengan kepentingan pragmatis. Bahkan ada sebuah stigma yang mengatakan bahwa kiai-santri terjun ke dunia politik karena didorong oleh hasrat ekonomi, suatu hal yang sangat ditabukan. Dengan demikian, hal itu perlu dihindari dan diantisipasi oleh golongan kiai-santri yang terjun dalam dunia politik. Kita tentu tidak ingin institusi yang dulu dianggap sebagai pilar penting kebenaran ikut terlibat dalam akrobat politik seperti layaknya badut dalam permainan sirk