Pengertian Fiqh Mu’amalah
Fiqh menurut bahasa berarti (اَلْفَهْمُ) pemahaman. Istilah fiqh dengan pengertian seperti ini seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadis Nabi saw., antara lain:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ -التوبة: 122
“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Kata fiqh dalam pengertian pemahaman juga dapat dijumpai dalam surat al-A’raf ayat; 179, dan surat an-Nisa’ ayat; 78, dan juga dalam hadis Nabi saw:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ …–رواه البخاري ومسلم
“Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Adapun pengertian fiqh menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama ialah sebagai berikut;
اَلْعِلْمُ بِالاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ وَهُوَ عِلْمٌ مُسْتَنْبَطٌ بِالرَّأْيِ وَالإِجْتِهَادِ وَيُحْتَاجُ فِيْهِ إِلَى النَّظَرِ وَالتَّأَمُّلِ (الجرجانى الحنفي
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.”
Pengertian senada juga dikemukakan oleh ulama’ lainnya, yaitu:
اَلْفِقْهُ مَعْرِفَةُ اَحْكَامِ الله تَعَالَى فِى اَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ بِالْوُجُوْبِ وَالْحَظَرِ وَالنَّدْبِ وَالْكَرَاهَةِ وَالإِبَاحَةِ وَهِيَ مُتَلَقَّاةٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَا نَصَبَهُ الشَّّارِعُ لِمَعْرِفَتِهَا مِنَ الأَدِلَّةِ فَإِذَا اسْتُخْرِجَتْ الاَحْكَامُ قِيْلَ لَهَا فِقْهٌ
“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan, yang disimpulkan dari al-qur’an dan as-sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’ untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan (ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fikih .”
Dari kedua istilah tersebut dapat dipahami bahwa secara aplikatif, bahwa kata fiqh memiliki pengertian yang sama (sinonim) dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti; fiqh shalat (hukum shalat), fiqh zakat (hukum zakat), fiqh shiam (hukum puasa) dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian muamalah adalah segala bentuk kegiatan dan transaksi serta perilaku manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, fiqh muamalah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat (yang bersumber dari al-qur’an dan hadis), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at secara terperinci.
Dalam pengertian yang lebih rinci, fiqh mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan menimpa mereka.
Prinsip-Prinsip (Fiqh) Mu’amalah
a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.
اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”
b. Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا. -النساء: 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.
عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قََضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة
“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;
اَلضَّرَرُ يُـزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan”
d. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. -البقرة: 279
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)