Tak hanya punya ketaatan total kepada Allah SWT, para Salafus Shalih juga punya akhlak baik kepada sesama. Ketika bersama saudara-saudaranya sesama mukminnya, ikatan persaudaraan yang mereka bangun begitu sangat kuat. Bagaikan satu ikatan tubuh atau seperti sebuah bangunan satu dengan lainnya dan saling menguatkan.
Masing-masing dari mereka selalu saling mencintai satu sama lain. Begitu saling menghargai dan saling memuliakan. Masing-masing menyaksikan keutamaan dan keluhuran akhlak mereka yang lain. Mereka lebih mementingkan kepentingan-kepentingan umum dan umat daripada kepentingan-kepentingan pribadinya. Mereka selalu berkhidmat, melayani umat dengan tulus dan ikhlas tanpa ada tendensi apapun.
Para Salafus Shalih itu paham dan sadar diri, mengaku salah ketika memang salah, tidak malu mengakui kekeliruan dan kekurangan dalam dirinya masing-masing. Satu contoh, ketika Umar menjadi Khalifah, di akhir masa hidup beliau, tatkala dibunuh dengan ditusuk dari belakang oleh Abu Lu’luk, terjadilah musyawarah, siapa gerangan yang pantas menggantikan beliau setelah Umar bin Khattab ini?.
Maka dilakukanlah musyawarah di antara para sahabat, salah satu dari mereka yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Utsman bin ‘Affan di tempat sepi. “Bila aku tidak berbai’at (menyatakan setia) kepadamu, lalu siapa yang pantas (menggantikan) Umar bin Khattab? Ustman menjawab, “Ali! Ali lah yang pantas”.
Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Ali karramallahu wajhah, “Bila aku tidak berbai’at (menyatakan setia kepadamu), lalu siapa yang pantas (menggantikan Umar bin Khattab)? Ali menjawab, “Ustman! beliau lah yang pantas menggantikan Umar”.
Begitu lah akhlak mereka itu, saling menghargai dan saling sodor-menyodorkan saudara atau sesamanya dalam kebaikan. Bukan dirinya sendiri yang didahulukan dan ditonjolkan. Satu sama lain lebih mendahulukan keutamaan akhlak yang luhur dan mulia.
Tetapi, para loyalisnya lah atau para pengikut masing-masing (kadangkala) yang merusak kondisi. Tarik menarik kepentingan golongan, interest kelompok dan politik kekuasaan lah yang kadang merusaknya. Ini terjadi (lebih parah) tatkala masa pergantian dari Khalifah Ustman bin Affan ke masa berikutnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib. Terjadi tarik menarik kepentingan antara pengikut Ali kw dan Mua’awiyah ra.
Contoh lain, ada cerita bagaimana mereka (person to person) pribadi mereka ini begitu sangat saling menghargai dan memuliakan satu sama lain. Suatu waktu, ada tiga orang yang sama-sama membutuhkan uang. Ketiganya sedang samasama ditimpa krisis ekonomi dan sama-sama kepepet sedang butuh uang.
Salah satu dari tiga orang ini mengutus temannya mencari solusi. Maka didapat lah, nilai uang sebesar seribu dirham. Tatkala uang itu sudah dipegang, ternyata ada teman satunya yang juga sama-sama membutuhkan (uang) tersebut.
Lalu orang (pertama) yang pegang uang itu, memberikan kepada orang kedua. Tatkala teman yang ketiga lebih membutuhkan (uang) itu, orang kedua rela mengasihkan dan memberikan (uang itu) kepada teman yang lain (teman yang ketiga).
Dan antar ketiganya, disaat memberikan uang (dirham itu) satu sama lain tidak saling mengungkap keperluan pribadinya. Masing-masing mereka mengirimkan utusan (untuk menjaga perasaan satu sama lain, menjaga perasaan hati temannya. Ketika suatu waktu ketiganya sama-sama tahu akan keperluan antar mereka, ketiganya (tiga teman ini) sama-sama rela membagi (uang sebesar seribu dirham itu) rata untuk tiga orang. Mereka saling mendukung, saling berempatyi, dan saling menjaga perasaan satu sama lain.
Begitu lah, mereka berteman, bersahabat dan bersaudara. Saling mengalah dan menghargai. Tidak egois. Tidak mengedepankan kepentingan pribadinya. Tidak menggunting dalam lipatan. Para Salafus Shalih dan orang-orang di jamannya benar-benar (jaman old) memaknai dan melaksanakan arti sebuah persahabatan, arti sebuah pertemanan, dan arti sebuah persaudaraan.
Bagaimana dengan zaman now? Masih adakah seperti cerita di atas ini? Semoga bermanfaat bagi kita. Para sahabat dan generasi setelahnya memang pantas menjadi teladan bagi kita semua. Keteladanan yang kalau dikupas tak ada habisnya. Wallau a’lam bishshawab. (Sumber: Tebuireng Online)