Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib bagi siapapun yang mampu melaksanakannya. Artinya, ia harus mencukupi kebutuhannya selama perjalanan haji sampai pulangnya hingga kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya terpenuhi.
Bagi calon jemaah haji, tentu saja hal yang paling diharapkan oleh mereka adalah kemabruran hajinya. Tak ayal, mereka seringkali meminta doa kepada para kiai agar hajat dan harapannya tersebut dapat terkabul.
KH Bahauddin Nursalim kerap menerima kedatangan orang-orang yang meminta doa agar hajinya mabrur, tetapi dengan syarat . Ia terlebih dahulu menekankan pentingnya pemahaman dan pengetahuan tentang haji ketimbang doa kemabruran hajinya.
Setiap kali kedatangan tamu seperti itu, Gus Baha, sapaan akrabnya, bertanya lebih dulu, apakah mereka sudah memahami syarat dan rukun haji. Kalau belum, ia akan meminta mereka belajar.
Sowan, katanya, mestinya bukan sekadar meminta doa, tetapi diniati juga untuk menggali pengetahuan. “Kiai, saya mau haji, syarat rukunnya apa? Kan saya bisa nerangkan,” katanya.
Hal-hal pokok demikian, seperti juga syarat rukun tawaf, sa’i, pengertian miqat, dan sebagainya itu mestinya didahulukan. Meskipun bukan berarti tidak perlu menerangkan hal-hal sunahnya.
Lebih lanjut, Gus Baha’ menganalogikan doa haji mabrur bagi orang yang belum berpengetahuan haji itu sama dengan mendoakan selamat orang yang belum bisa naik motor.
Mendoakan orang haji mabrur itu seperti orang yang gak bisa mengendarai sepeda motor tapi minta didoakan selamat,” katanya.
Jadi, menurutnya, keselamatan itu bisa diperoleh jika orang tersebut sudah bisa mengendarai motor. Haji juga demikian. Bisa mabrur dengan memahami berbagai syarat dan rukunnya. “Hajinya gak bisa kok minta didoakan selamat,” katanya.
Permintaan doa juga sampai ketika Gus Baha’ berada di Makkah. Santri-santri Pondok Pesantren Sarang, Rembang juga pernah memintanya berdoa saat berada di Multazam. Gus Baha dengan tegas menolak, “Moh (gak mau)!”
Gus Baha’ yang juga pengajar di pondok tersebut meminta balik kepada mereka untuk mengaji lebih dulu. Setelahnya, baru ia akan berdoa untuk mereka jika ingat. Kalau tidak, ia nggak berdoa. “Ngaji dulu. Setelah ngaji, saya doakan kalau ingat. Kalau nggak yaudah.”
Akhirnya, mereka pun mengaji kitab Sohih Bukhori kepada Gus Baha’ di lantai 3 jam 2 malam hingga Subuh. Barulah setelah itu, kiai yang kerap kali berpeci hitam dan berkemeja putih itu berdoa kepada Allah untuk mereka.
Doa yang ia panjatkan bukan soal haji atau keinginan mereka yang mungkin belum terwujudkan. Tetapi, Gus Baha’ berdoa agar mereka, para santri tersebut, dapat bermanfaat untuk umat Nabi Muhammad saw dan mau mengajarkan ilmunya.
“Gusti…..semoga anak-anak ini ada manfaatnya bagi umat Rasulullah. Mau mengajar bukan keduniawian,” harapnya yang kemudian diamini mereka. (Syakir NF/Zunus Muhammad)
Sumber : https://islam.nu.or.id/post/read/108985/kritik-gus-baha–kepada-mereka-yang-minta-didoakan-hajinya-mabrur.