Bagi kita yang melaksanakan puasa di bulan Ramadan ini tentu lebih menjaga benda-benda luar agar tidak masuk ke dalam mulut. Jika waktu Subuh tiba dan masih ada sisa makanan di mulut, kita harus mengeluarkannya. Mungkin ada juga yang belum sempat membersihkan mulut dengan berkumur atau sikat gigi.
Dari berbagai sumber yang didapat, berkumur pada waktu puasa, baik dalam rangka berwudlu maupun untuk menghilangkan rasa pahit pada mulut, hukumnya boleh (mubah), apabila cara berkumur tersebut dalam batas kewajaran (tidak berlebihan dan tidak terlalu sering). Akan tetapi, jika berkumur dilakukan secara berlebihan, sehingga dikhawatirkan masuk ke dalam kerongkongan, baik secara tidak sengaja dan atau dilakukan terlalu sering, hingga ia mengesankan ada keinginan menikmati “sisa kumuran”, maka hukumnya makruh. Namun, jika sampai air kumurnya tertelan walaupun tidak terdapat unsur kesengajaan dan tetap dilakukan secara berulang-ulang, maka hukumnya haram dan hukum puasa tersebut batal.
Sikat gigi secara total (pada seluruh permukaan gigi) di bulan Ramadan hendaknya dilakukan pada malam hari (sehabis buka, sebelum tidur, atau usai makan sahur). Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan keraguan hati dan persoalan hukum akibat melakukannya. Sedang untuk sikat gigi di siang hari, yakni pada waktu berpuasa, hukumnya boleh, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Akan tetapi, para ulama menganggap aktivitas tersebut makruh, karena menimbulkan rasa khawatir adanya percikan yang masuk rongga mulut itu tertelan dan dapat membatalkan puasa.
Oleh karena itu, jika dirasa memang perlu untuk sikat gigi di siang hari baik, maka hendaknya menyikat permukaan gigi depan saja. Tindakan ini sebagai tindakan preventif terhadap kemungkinan masuknya percikan air ke rongga mulut bagian dalam.
Di dalam buku al-Bayan Lima Yasyghal al-Adzhan pada bab pembahasan puasa, bahwa terdapat perbedaan pendapat terkait dengan sikat gigi, yang pada zaman dahulu disebut dengan siwak, menggunakan batang kayu arak. Jumhur fuqaha membolehkan (bahkan disunnahkan menurut ulama Hanafiyyah) karena dalam sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Amir bin Rabiah:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَا أُحْصِيْ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Aku telah melihat Rasulullah apa yang tidak bisa aku menghitungnya yaitu beliau bersiwak dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
Akan tetapi, ulama Syafi’iyah menganggap bahwa bersiwak (sikat gigi) dalam keadaan berpuasa hukumnya makruh sejak tengah hari sampai maghrib. Hal ini didasarkan pada hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim:
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ
“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu bagi Allah Swt lebih harum dari bau minyak wangi kasturi.”
Dari hadis di atas, ditarik sebuah kesimpulan bahwa menghilangkan bau mulut dianggap makruh karena sama halnya dengan menghilangkan bau minyak wangi di sisi Allah Swt.
Adapun ulama Syafi’iyyah (ulama pengikut madzhab Syafi’i, tapi belum tentu Imam Syafi’i sendiri) menganggap bahwa hal ini kurang tepat. Hadis tersebut adalah hadis yang bernilai tashliyyah yaitu hiburan dari Nabi Saw bagi umatnya, agar tidak minder dengan bau mulut yang tidak enak ketika berpuasa. Tetapi hal ini tidak berarti agar kita membiarkan dengan begitu saja mulut berbau lalu tidak membersihkannya atau bahkan dipamerkan pada teman sepergaulan dengan mendekatkan mulut kita pada hidungnya agar bau kasturi.
Maka dari itu, sebaiknya kita berusaha membersihkan mulut agar tidak berbau terlalu menyengat. Sebab kita tidak mengetahui apakah mulut kita sangat berbau atau tidak tatkala berpuasa. Ada kemungkinan orang lain mengetahui itu, namun tidak berani menegur karena bau mulut yang tidak enak. Nah, kalau sudah demikian masih berbau ya apa boleh buat, hadis di ataslah sebagai hiburannya.
Dijelaskan dalam buku Fikih kontemporer karya Prof. Dr. Ahmad Zahro’ bahwa mengenai aktivitas sikat gigi atau berkumur mengurangi pahala atau tidaknya, sungguh sama-sama kita tidak mengetahuinya, karena pahala adalah hal abstrak yang merupakan hak prerogatif Allah Swt.
Pahala lebih berkait pada suasana hati dan perilaku dalam beribadah (puasa) dan tidak banyak hubungannya dengan simbol-simbol ritual yang bercorak fikih yang lebih menekankan pada sah-tidaknya suatu amalan, sebagaimana dalam perspektif tasawuf. Jadi, sikat gigi atau berkumur tidak mengurangi pahala asal hati kita ikhlas dan perilaku kita baik, dibanding orang yang tidak sikat gigi dan berkumur tetapi hati dan perilakunya kurang baik. (Sumber: Tebuireng Online)