(Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriah yang tegak, sedangkan ruh amal perbuatan itu ialah adanya rahasia keikhlasan didalamnya (Ibn Athoillah al-sakandari)
Musim haji telah tiba, Jutaan umat muslim dari penjuru dunia dipastikan bakal memadati tanah suci Mekkah untuk menjalankan rukun Islam yang kelima ini. Melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang mampu dalam segi rohani, jasmani serta materi.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia turut serta dalam menyumbang ratusan ribu jamaah untuk melaksanakan haji setiap tahunya. Antusiasme dan semangat masyarakat kita dalam berhaji sangat tinggi sekali hingga menyebabkan kesenjangan antara jumlah kuota persediaan dan permintaan. Walhasil, masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah haji harus rela antri belasan hingga puluhan tahun. Namun hal tersebut tetap saja tak menyurutkan sebagian masyarakat kita untuk pergi haji.
Antusisme masyarakat dalam berhaji tentu menjadi kabar yang sangat menggembirakan karena bisa jadi hal tersebut menggambarkan kesadaran keberagamaan yang cukup tinggi. Konsekuensi dari kesadaran keberagamaan adalah lahirnya komunitas yang shalih, baik shalih individu maupun shalih sosial. Perilaku zalim, korup dan sombong mestinya berkurang pelakunya. Namun kenyataanya perilaku tak terpuji tersebut tetap saja menggurita disekitar kita.
Yang lebih menggelikan lagi tak jarang perilaku tak terpuji tersebut dilakukan oleh orang yang sudah berhaji. Tengok saja media-media mainstream kita yang sering memberitakan pak Haji dan bu Haji kita yang meringkuk ke dalam terali besi karena korupsi.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ibadah haji kurang membekas dan berpengaruh terhadap perbaikan akhlaq dan moral orang yang menunaikan haji. Tak ada perbedaan perilaku yang signifikan antara sebelum dan sesudah melakukan ibadah haji, begitu-begitu saja perilakunya.
Berkaca dari fenomena tersebut bisa jadi antusisme masyarakat kita dalam berhaji mempunyai motif terselebung. Tak sekedar beribadah namun juga ingin menabur citra ke khalayak ramai bahwa dialah orang suci yang harus dihormati.
Menurut Moeslim Abdurrahman dalam buku Jalan Baru Islam (1998) bahwa praktik ibadah haji di Indonesia modern bukanlah hanya sekedar penegasan kembali identitas keagamaan, melainkan juga identitas kelas. Hal itu juga mengisyaratkan penonjolan status sosial orang yang telah melakukan ibadah kepada masyarakat secara keseluruhan.
Berbeda dengan kecenderungan kini, pada masa kolonial masyarakat sangat menghormati para haji karena selain mempunyai keilmuan keagamaan yang mendalam pada saat itu pula para haji juga mempunyai peran sebagai pemimpin gerakan revolusioner. Para haji memobilisasi ketidakpuasan, frustasi dan kebencian terhadap dominasi Belanda serta segala hal yang berbau asing. Gerakan revolusioner tersebut menemukan jalan keluar baru berupa persekutuan dengan gerakan keagamaan.
Menurut Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984) kaum haji dianggap sebagai satu bahaya yang potensial bagi penguasa kolonial, sejauh mereka dapat memimpin gerakan. Gerakan keagamaan yang revolusioner itu tidak mau menyesuaikan diri, dan menduduki tempat yang penting dalam perjuangan mempertahankan kesadaran akan martabat dan harga diri dalam menghadapi situasi keterasingan dan diskriminasi.
Pemerintah kolonial berusaha keras untuk mengurangi resiko dan bahaya yang dihadapi orang-orang yang naik haji dengan mengawasi kegiatan dan gerak-gerik selama masa perjalanan haji maupun sekembalinya dari tanah suci. Pemerintah kolonial mengetahui bahwa haji-haji yang berbahaya secara potensial itu bukanlah orang yang hanya menjalankan haji semata melainkan mereka yang bermukim selama beberapa tahun di Mekkah.
Para haji yang berkesempatan tinggal di Mekkah beberapa tahun inilah yang mempunyai kesempatan untuk bertukar pikiran dengan sesama muslim dari timur tengah hingga Afrika Utara yang sama-sama mengalami penjajahan. Hal ini terjadi tak lepas dari pengaruh Pan-Islamisme dan kebangunan kehidupan agama yang menjangkiti masyarakat muslim di berbagai negara terjajah.
Azyumardi Azra menjelaskan dalam bukunya Renaisans Islam Asia Tenggara (1999) bahwa para haji dari Nusantara yang bertahun-tahun tinggal di haramain membentuk jaringan ulama (Network of the ulama). Beberapa haji dari Nusantara belajar dan berguru di lingkaran belajar yang diselenggarakan di Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Jaringan Ulama Nusantara tersebut dimulai pada akhir abad ke-17. Dimana pada saat itu Syekh Yusuf al-Maqassari dan Abdur-Rauf Sinkili berguru dengan Syekh Ahmad al-Qushashi serta Ibrahim Al-kurani yang notabene merupakan ulama yang sangat disegani di haramain atas keilmuan dan kealimanya.
Dari keterlibatan dua ulama Nusantara dalam menuntut ilmu di haramain tersebutlah kemudian muncul akar-akar jaringan ulama nusantara. Sederet nama-nama ulama Nusantara kemudian bermunculan dikenal di haramain dan berhasil memperoleh posisi keilmuan yang tinggi dengan memperoleh penghormatan untuk mengajar halaqah-halaqah di Majidil Haram. Diantara sederet nama ulama Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram tersebut diantaranya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi serta syekh Mahfud at-Tarmasy.
Produktifitas karya dari ulama nusantara yang belajar di haramain juga dibilang cukup mentereng terbilang puluhan hingga ratusan karya ditulis dihasilkan dalam bahasa melayu maupun arab. Spesifikasi dan genre ilmu keislamanya pun beragam misalnya dalam bidang fiqih terdapat karya dari al-Raniri berjudul Sirat al-Mustaqim , dalam bidang hadist karya Mahfud at-Tarmasy berjudul Minhaj Zawi al-Nazar dan dalam bidang tafsir tarjuman al-Mustafid karya Abdur-Rauf Sinkili. Sebagian kecil dari karya-karya ulama Nusantara diterbitkan di Kairo, Beirut dan Istanbul namun kemudian kebanyakan dicetak ulang di Nusantara.
Ibadah haji senyatanya merupakan ibadah yang bersifat pribadi namun sesungguhnya di dalamnya mengandung ajaran-ajaran sosial yang penting untuk ditransformasikan ke dalam kehidupan riil dimasyarakat. Dalam haji misalnya terdapat ritual dan motivasi simbolik yang tidak hanya menjadikan seseorang memiliki kesalehan individu melainkan juga kesalehan sosial yang bernuansa sosiologis. Setiap ritual yang dilakukan maupun atribut yang dikenakan dalam ibadah haji sejatinya syarat akan makna-makna suci seperti kebersamaan, kerendah hatian serta kesederhanaan.
Pakaian ihram yang terdiri dua helai kain putih sederhana menjadi kostum yang wajib dikenakan oleh orang yang berhaji. Pakaian yang melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu kini harus dilepaskan dan diganti dengan pakaian ihram tersebut. Pakaian kelas, suku, dan kedudukan yang menutupi diri dan watak manusia selama ini harus ditanggalkan.
Disaat thawaf seseorang yang menjalankan ibadah haji harus mengelilingi ka’bah dimana ka’bah merupakan perlambangan dari ketetapan (konstansi) dan keabadian tuhan. Dalam mengelilingi ka’bah para jamaah haji tergabung ke dalam satu unit kelompok yakni hamba tuhan dimana identifikasi individual menjadi kabur. Tidak dibedakan lelaki dan perempuan dan yang berkulit putih atau hitam. Thawaf merupakan transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia.
Di dalam melempar jumroh memiliki filosofi dan perlambangan untuk melontar iblis yang menjadi musuh manusia yang senyatanya. Memerangi iblis yang lebih subtantif adalah manusia dituntut untuk tidak tergoda dan membunuh sifat-sifat iblis yang terdapat dalam dirinya masing-masing
Oleh karena itu penting kiranya bagi siapapun yang ingin menjalankan ibadah haji untuk merefleksikan dan meluruskan niat apa kiranya tujuanya dalam menjalankan ibadah haji. Apakah berhaji hanya sekedar untuk unjuk diri atau gagah-gagahan sehingga mencemari makna sucinya tanpa ada kontribusi yang kongkret dalam kehidupan sosial ataukah berhaji dengan ketulusan dan berkontribusi terhadap kehidupan riil dengan mencontoh para haji cum ulama Nusantara dahulu yang menstimulasi gerakan sosial dalam melawan sistem yang menindas dan sekaligus menjadi kompas Ilmu bagi umat Islam diseluruh dunia??
Wallahu A’lamu Bissowab.
Oleh: Jayyidan Falakhi Mawaza (Pegiat Social Movement Institute)